Sekolah. Menurutku sekolah itu selain tempat mengajarkan kita dasar keilmuan seperti tulis-menulis, membaca dan mendengarkan, sekolah juga harus mempersiapkan kita agar menjadi orang yang mampu menyerap, mengolah, mempraktikkan dan mengambil ilmu dari masyarakat, termasuk ekonomi dan sosial. Semisal, dulu di sekolah tidak ada Internet, nah kita harus belajar sendiri untuk bisa mengenal, menggunakan dan memanfaatkan Internet setidaknya untuk diri sendiri dan syukur-syukur dapat dimanfaatkan untuk orang banyak. Jadi Istilahnya, sekolah yang baik bagi saya adalah sekolah yang bisa membentuk siswanya kelak setelah lulus bisa berkembang sendiri di lingkungan dengan mempergunakan otak mereka sendiri yang telah diisi tetek bengek keilmuan yang dibutuhkan di masyarakat dalam perkembangan zamannya. Karena ilmu pengetahuan, masyarakat dan kehidupan, ekonomi, sosial, pola pikir generasi terdidik dan segala macamnya (atau kita sebut saja “Perkembangan Zaman”) terus berkembang dan maju. Artinya sekolah juga harus terus bisa mengikuti perkembangannya dengan perubahan-perubahan strategi, langkah-langkah yang up to date
juga agar bisa memenuhi tuntutan “Perubahan
Zaman” sehingga anak didiknya dapat berhasil untuk hidup mapan di dunia
masyarakat baik secara nasional maupun kelak secara global.
Nah,
sekolah yang menurut saya semestinya up to date, yakni sekolah
yang mengerti tuntutan zaman, kebutuhan bangsa, masyarakat dan dunia.
Sekolah yang tidak up to date, tidak mengikuti “Perubahan Zaman”
atau dalam artian hanya mengajarkan keilmuan dasar seperti menulis,
membaca dan mendengar saja yang nantinya akan menciptakan masalah besar
buat bangsa ini akibat kurang tanggap terhadap perkembangan kebutuhan
masyarakat baik secara ekonomi dan sosial. Dan
menurut saya, salah satu masalah yang telah timbul dari sekolah yang
tidak up to date ini adalah jumlah pengangguran yang meningkat di
negeri ini. Jumlahnya mencapai 10,55 juta jiwa, (sumber: BPS dan
Departemen Dalam Negeri Indonesia ,
16/05/2007), itu dikarenakan dunia pendidikan kita tidak menlihat
sebenarnya apa yang dibutuhkan bangsa; dunia dan masyarakat kita ini.
Berdasarkan
pengalaman saya, di sekolah (mungkin termasuk orang tua kita juga) pada
umumnya mengarahkan kita untuk bercita-cita menjadi pegawai negeri
sipil, polisi, dokter, bekerja di pemerintahan yang notabene semua itu
volume penyerapan tenaga kerjanya sangat kecil. Dan ini secara tidak
langsung artinya hanya mengajarkan bahwa orang berhasil apa bila menjadi
seperti profesi seperti yang didoktrinkan tersebut dan yang ada, para
siswa mempersiapkan diri sesuai kapasitas yang didoktrin tersebut.
Padahal kenyataanya adalah tantangan yang dihadapi adalah sangat jauh
lebih besar dari itu, mulai dari besarnya perbandingan antara jumlah
pelamar dan jumlah yang diterima sehingga kualifikasi yang diminta
adalah yang terbaik dan belum lagi menghadapi persaingan kualifikasi
dari orang luar negeri, dan yang ada para lulusan ini menjadi tidak
memenuhi tuntutan pasar dan kebutuhan masyarakat ataupun tidak terpakai
karena memang ruang untuk kualifikasi mereka sudah terisi. Penuh!. Belum
lagi munculnya diskriminasi pekerjaan. Bahwa pekerjaan A lebih tinggi
derajatnya daripada pekerjaan B, atau pekerjaan C lebih bergengsi
dibanding pekerjaan D, dan seterusnya. Kenapa akhirnya timbul banyak
pengangguran adalah karena kita sudah banyak didokrin untuk selalu
mencita-citakan hanya menjadi pekerja, bukannya mengajarkan kita untuk
mencipta, berkreasi, dan menjadi kreatif secara mandiri seperti
berwiraswasta baik dalam skala kecil, menengah dan besar.
Menurut
buku yang pernah saya baca, bahwa pada awal
permulaan Revolusi Industri di Prancis, Inggris, kawasan Eropa dan lalu
menyebar ke seluruh pelosok bumi, dunia mulai membutuhkan tenaga kerja
bersifat administratif, buruh, sales, marketing, akuntan dan manajer.
Tetapi pada abad ini, para pekerja telah menempati lowongan tersebut dan
mereka yang sudah pensiun berjumlah lebih sedikit dan tidak sebanding
dengan lulusan sekolahan yang siap bekerja di posisi tersebut. Dan
sayangnya sekolah kita mempersiapkan dan mengarahkan kita menuju ke
dunia yang peluangnya sedikit serta kita kekurangan informasi tentang
bagaimana sebenarnya ‘dunia’ itu yang lambat laun harus dihadapi untuk
bertahan hidup agar tidak menjadi pengangguran. Dengan adanya lulusan
yang menjadi pengangguran berarti sekolah tersebut telah gagal mendidik
murid-muridnya menjadi orang yang bisa berkembang sendiri terhadap
perubahan lingkungan.
Tak bermaksud merendahkan siapapun atau
memberi penilaian buruk dengan menggunakan logika saya ini, tetapi
inilah gambaran yang saya tangkap dari hasil pendidikan bangsa ini dalam
menghadapi dunia global. Menurut saya, lulusan universitas yang memilki
kecerdasan intelektual yang (semestinya) lebih daripada pekerja TKI
(Tenaga Kerja Indonesia) yang notabene hanya lulusan SMA, SMP bahkan SD,
tapi yang ada malah mereka lebih memiliki pendapatan yang jauh lebih
besar dibanding kebanyakan para
lulusan intelektual kita ini. Dan parahnya, lulusan sarjana kita tidak
dipakai di perusahaan asing atau setidaknya berada dibawah lulusan
sekolah/universitas luar negeri pada perusahaan asing dan juga
perusahaan dalam negeri. Artinya dimana sebenarnya posisi para
intelektual sarjana itu sendiri dalam dunia global ? Apakah pendidikan
kita sendiri sudah mempersiapkan kita menjadi pemain dalam kiprah dunia
global dan bukan hanya sebagai pekerja saja dan sendi-sendi lainnya
dalam era pesar bebas ini? Jikalau belum, berarti bangsa ini cenderung
akan menjadi bangsa yang konsumtif saja dan bukan bangsa yang produktif.
Kalau begini terus, bangsa kita hanya akan menjadi negara pembeli
ditengah era globalisasi dan tetap menjadi negara yang miskin atau
setidaknya negara yang kesulitan berkembang ! Sudahkah sistem pendidikan
kita tersadarkan dengan kenyataan yang akan kita hadapi beberapa tahun
kedepan ini ?
Sekolah yang pernah saya jalani sewaktu SMA adalah sekolah yang masih terlalu umum buat saya, dalam artian sekolah yang kurang dan malah mungkin tidak pernah memberi informasi tentang dunia kerja. Sebagai contoh, sekolah yang mengaku mengutamakan bahasa Inggris sebagai life skill ini serta usahanya untuk mencerdaskan anak-anak didiknya dalam berbahasa Inggris dalam kenyataannya ternyata biasa-biasa aja atau mungkin kalau boleh jujur, kurang sama sekali ( but I still love my school lho...!) Lain lagi halnya di tempat kuliah saya, (sebagai catatan, saya memilih institusi ini karena saya melihat peluang kerja Internationalnya terbuka lebar dimana setiap tahun jumlah kapal-kapal terus bertambah mengikuti perkembangan ekonomi dunia dan orang yang mau menjadi pelaut terus berkurang. Siklus pelaut yang ingin pensiun dini sangat banyak dengan alasan ingin bekerja di darat terutama di benua Eropa danAsia ataupun telah
mempunyai dana yang cukup untuk mulai berbisnis (Insya Allah saya akan
memulai lebih dini untuk membangun bisnis). Sayangnya, di institusi ini
dimana saya dipersiapkan menjadi nakhoda kapal yakni dengan cara melatih
fisik 70% dan knowledge hanya 30%. Belum lagi kondisi yang tidak
kondusif di asrama yang mengakibatkan kemungkinan 30% knowledge
tersebut kian berkurang. Padahal seharusnya poin utama yang harus
disiapkan untuk kalangan pemimpin seperti nakhoda di atas kapal yang
notabene bekerja dalam lingkungan Internasional adalah kecerdasan
intelektual seperti manajemen kepemimpinan, komunikasi, dan kebutuhan
penguasaan keterampilan bernavigasi itu sendiri. Tapi di institusi ini
seperti agak melenceng dari apa yang dituntut oleh pasar dunia, bahkan
kalau boleh dibahasakan, saya menyebutnya kurang tepat sasaran.
Bersyukurlah bagi orang yang pandai melihat dan membaca situasi seperti
ini karena dapat mempersiapkan dirinya sendiri dengan berbagai life
skills yang sekiranya diperlukan dalam persaingan pasar bebas dan
tidak terlena serta berleha-leha dengan target kampus yang kedodoran
tersebut. Pihak pembuat kurikulum kampus yang kurang tanggap dan tidak
melihat perubahan terhadap tuntutan dunia kerja bagi pelaut menyulitkan
lulusannya untuk bersaing di era globalisasi ini.
Sekolah yang pernah saya jalani sewaktu SMA adalah sekolah yang masih terlalu umum buat saya, dalam artian sekolah yang kurang dan malah mungkin tidak pernah memberi informasi tentang dunia kerja. Sebagai contoh, sekolah yang mengaku mengutamakan bahasa Inggris sebagai life skill ini serta usahanya untuk mencerdaskan anak-anak didiknya dalam berbahasa Inggris dalam kenyataannya ternyata biasa-biasa aja atau mungkin kalau boleh jujur, kurang sama sekali ( but I still love my school lho...!) Lain lagi halnya di tempat kuliah saya, (sebagai catatan, saya memilih institusi ini karena saya melihat peluang kerja Internationalnya terbuka lebar dimana setiap tahun jumlah kapal-kapal terus bertambah mengikuti perkembangan ekonomi dunia dan orang yang mau menjadi pelaut terus berkurang. Siklus pelaut yang ingin pensiun dini sangat banyak dengan alasan ingin bekerja di darat terutama di benua Eropa dan
0 komentar:
Posting Komentar