Sistem pendidikan di Indonesia secara umum masih dititikberatkan pada
kecerdasan kognitif. Hal ini dapat dilihat dari orientasi sekolah
sekolah yang ada masih disibukkan dengan ujian, mulai dari ujian mid,
ujian akhir hingga ujian nasional. Ditambah latihan-latihan soal harian
dan pekerjaan rumah untuk memecahkan pertanyaan di buku pelajaran yang
biasanya tak relevan dengan kehidupan sehari hari para siswa.
Saatnya para pengambil kebijakan, para pendidik, orang tua dan
masyarakat senantiasa memperkaya persepsi bahwa ukuran keberhasilan tak
melulu dilihat dari prestasi angka angka. Hendaknya institusi sekolah
menjadi tempat yang senantiasa menciptakan pengalaman pengalaman bagi
siswa untuk membangun dan membentuk
karakter unggul.
Pengertian
Pendidikan Karakter
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati,
jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,
temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun
Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap
(attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan
keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti
“to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai
kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang
tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang
berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan
kaidah moral disebut dengan berkarakter
mulia.
Konsep Pendidikan Karakter
Karakter
mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi
dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya
diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri,
hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela
berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil,
rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja
keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif,
disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat,
dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif,
pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif,
tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat
yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai
potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi
perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial,
etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang
berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya,
sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada
umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai
dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman
nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the
deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal
character development”. Dalam pendidikan
karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus
dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau
pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas
atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan,
dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu,
pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang
dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan
karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the
deliberate effort to help people understand, care about, and act upon
core ethical values. When we think about the kind of character we want
for our children, it is clear that we want them to be able to judge what
is right, care deeply about what is right, and then do what they
believe to be right, even in the face of pressure from without and
temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu
yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter
peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini
mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau
menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal
terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna
yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya
adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang
baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi
suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial
tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya.
Oleh karena itu, hakikat
dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia
adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang
bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina
kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter
dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat
absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden
rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila
berpijak dari nilai-nilai
karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai
karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya
(alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih
sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan
pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati,
toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan
bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat
dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan,
ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya
integritas. Penyelenggaraan
pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai
karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang
lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau
bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan
sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan
tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni
meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian
massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota
besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat
meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah
resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya
dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan
intensitas dan kualitas
pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan
pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian,
ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan
dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar
menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang
dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan
moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi
nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan
tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam
diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara
psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu
merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif,
afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial
kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung
sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses
psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah
Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual
development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic
development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity
development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.
Kofigurasi Karakter
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral.
Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang,
ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan
rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai,
pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial.
Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan
berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif,
pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan
pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi,
yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan
karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan
secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai
perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Jumat, 24 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar