Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melakukan program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam rangka membantu siswa untuk mengembangkan potensinya.
Potensi yang dimaksud baik yang menyangkut aspek moral –spritual, kognitif, emosional maupun sosial. Sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian siswa dalam cara berpikir, bersikap maupun cara berperilaku untuk mengantarkan manusia muda (siswa) ke alam kedewasaan.
Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah kekeluargaan, kesejajaran, kasih sayang, dan kebebasan bertanggung jawab. Namun, waktu berjalan, peradaban berganti. Hubungan mendewasakan berganti mengurui dan digurui. Manusia muda tak lebih tong kosong yang bisa diisi sesuka hati pengisinya. Pendidikan direduksi sekedar pengajaran.
Zaman ini, khususnya di Indonesia pendidikan (sekolah) sudah tidak lagi tempat yang menyenangkan bagi siswa. Kekeluargaan, kasih sayang, kebebasan mengungkapkan diri siswa, sedikit demi sedikit mulai menghilang dari sebuah lembaga pendidikan yang di kenal dengan sekolah. Hal itu diakibatkan oleh banyak faktor. Namun dalam konteks ‘ketika sekolah menjadi tidak menyenangkan bagi siswa’ yang jelas ada beberapa faktor utama.
Pertama, ketika guru dengan segala otoritasnya menjadi galak dan memandang siswa sebagai objek.
Kedua, ketika guru memandang siswa sebagai tabularasa (kertas kosong) sehingga harus dicorat-coret dengan seenaknya. Saat itu pulalah terjadi ketidaksejajaran antara siswa dan guru sebagai makluk sosial yang saling membutuhkan.
Ketiga, ketika proses pembelajaran dari awal hingga akhir dikuasai sepenuhnya oleh guru. Hal ini membuat siswa kehilangan kebebasan mengekpresikan siapa dia sebenarnya.
Keempat, lingkungan fisik sekolah, baik di dalam kelas maupun lingkungan sekolah menjadi tempat yang tidak enjoy bagi siswa. Lingkungan sekolah yang kaku dan penataan kelas yang terlihat kumuh dan monoton membuat siswa tidak betah di lingkungan sekolah.
Faktor kelima adalah peraturan sekolah yang ketat. Artinya peraturan sekolah yang memiliki aturan detail yang menuntut banyak kepada siswa membuat siswa ingin lari dari kanyataan.
Beberapa faktor di atas membuat siswa tidak enjoy di sekolah. Siswa merasa sekolah bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk belajar. Siswa akan memilih pergi meninggalkan (membolos) kelas sebagai tindakan protes mereka terhadap perilaku guru, proses pemelajaran, disiplin yang ketat maupun lingkungan sekolah yang kurang bersahabat.
Siswa mencari tempat di luar sekolah yang cukup aman untuk mengekpresikan dirinya secara bebas tanpa harus dikontrol dan ditekan secara otoriter oleh siapa pun. Siswa secara berkelompok mereka akan mencari tempat yang enjoy seperti ke mal, duduk-duduk di jalanan atau di jembatan, atau tempat-tempat lain yang cukup aman bagi mereka.
Sesuai dengan perkembangan individu, ketika siswa merasa aman, dia (siswa) bisa mengekpresikannya melalui hal-hal yang negatif seperti, minum-minuman keras, penggunaan obat-obat terlarang, dan bahkan perkelahian.
Hakikat pendidikan, memanusiakan manusia muda berlandaskan kekeluargaan, kesejajaran, kasih sayang, dan kebebasan bertanggung jawab sudah jarang kita temui di kebanyakan lembaga-lembaga pendidikan kita.
Pemerintah kita masih menyibukkan dengan masalah konsep kurikulum atau sistem pendidikan bahwa pendidikan itu harus begini dan begitu. Mereka jarang mempermasalahkan hal-hal teknis dilingkungan fisik sekolah, proses pemelajaran maupun cara pendekatan guru terhadap siswa.
Tampaknya hal ini mengakibatkan persolan sumber daya manusia Indonesia selalu berada di bawah negara-negara tetangga. Sistem pendidikan sebagus dengan biaya sebesar berapapun sementara lingkungan sekolah (kelas) dan proses pembelajaran masih didominasi guru secara otoriter tanpa memberikan kebebasan yang bertanggung jawab kepada siswa, maka siswa selalu saja belajar dalam ketidaktenangan.
Siswa akan belajar secara terpaksa yang akan berakibat buruk pada prestasi baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Sehingga yang perlu dipikirkan adalah bagaimana kondisi sekolah (kelas), sistem pembelajaran, peraturan sekolah dan sikap guru kepada siswa sehingga tercipta suasana belajar mengasyikan bagi siswa, sehingga siswa betah dan menjadikan sekolah sebagai istana belajar yang aman.
Ketika sekolah tidak menyenangkan bagi siswa perlu dicari berbagai solusi untuk menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan untuk belajar.
Hal pertama yang kiranya perlu diperhatikan adalah sikap guru terhadap siswa. Sebagaimana ditawarkan dalam kurikulum baru yang dikenal dengan ‘Kurikulum Berbasis Kompetensi’ dalam perencanaan guru berperan sebagai desainer yang kreatif. Dalam tahap pelaksanaan guru berperan sebagai fasilitator, dinamisator dan motivator. Dalam tahap evaluasi guru berperan untuk memberikan umpan balik.
Jadi di sini tidak ada guru yang menggurui, tidak ada guru yang otoriter atau galak. Beberapa peranan guru di atas, terutama tahap pelaksaan dilakukan dengan berlandaskan kekeluargaan, kesejajaran, kasih sayang dan menciptakan kebebasan bagi siswa. Guru dan siswa sejajar sebagai manusia yang saling membutuhkan tanpa harus ada otoritas di salah satu pihak. Selain itu, dalam proses pemelajaran memandang siswa secara merata, artinya tidak ada siswa yang lebih dianakemaskan.
Kedua, pandangan guru terhadap siswa. Kiranya guru tidak memandang siswa sebagai kertas kosong, tetapi memandang siswa sebagai manusia yang memiliki kompetensi-kompetensi yang perlu didorong untuk mengembangkannya. Sehingga dalam pemelajaran guru memberikan kesempatan-kesempatan untuk mengembangkan dirinya dengan kegiatan-kegiatan, misalnya dramatisasi pemelajaran, diskusi, debat dan permainan-permainan yang relefan dengan pokok bahasan atau materi pelajaran.
Ketiga, lingkungan fisik sekolah, baik di dalam kelas maupun lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah kiranya perlu didesain dengan pendekatan natural. Misalnya, kerindangan (penanaman rerumputan dan pepohonan atau bunga-bungaan yang langka); kebersihan dan kerapihan lingkungan sekolah. Selain itu ruang kelas juga tidak terkesan kumuh, panas dan monoton. Artinya kerapihan terus perhatikan, kesejukan, dan bahkan peletakan kursi dan meja pun dapat berubah-ubah setiap saat.
Keempat, adalah masalah peraturan sekolah. Penulis pernah membaca buku “Pendidikan Bebas” yang ditulis oleh guru-guru SMU Kolese de’Britto. Dalam buku itu dijelaskan bahwa mengapa de’Britto begitu terkenal elit dan para siswanya pun enjoy belajar di sana. Ternyata salah satu faktor yang membuat sekolah itu elit dan membuat siswa enjoy untuk belajar karena, de’Britto tidak membuat peraturan sekolah yang detail dan memberikan kebebasan yang bertanggung jawab kepada siswa. Tidak ada aturan ketat yang memaksakan siswa harus begitu dan begini. Disiplin waktu misalnya, cukup hanya dengan memberitahu “kamu lebih baik datang tepat waktu supaya teman-temanmu tidak terganggu dan juga kamu tidak ketinggalan pelajaran.”
Sebagaimana hakikat sekolah adalah mengantarkan manusia muda ke alam kedewasaan. Maka untuk mengantarkan ke alam kedewasaan tentu tidak mudah berkata-kata, membutuhkan tenaga dan biaya.
Namun untuk membuat sekolah sebagai istana belajar siswa yang mengasyikan, dirasa tidak terlalu membutuhkan biaya dan tenaga yang begitu banyak. Sehingga minimal dengan adanya menejemen berbasis sekolah, pihak sekolah memiliki kewenangan penuh untuk menjadikan lingkungan sekolah, guru dan pemelajaran yang menyenangkan bagi siswa, sehingga siswa tidak banyak keluar membolos atau mencari tempat-tempat yang lebih aman baginya.
Selain itu pihak Dinas Pendidikan Daerah berperan penting, terutama dalam membuat peraturan-peraturan umum tentang sekolah. Sehingga sekolah menjadi benar-benar tempat mewujudnyatakan empat pilar pendidikan (UNESCO), yakni learning to know (belajar mengetahui) learning to bicame him-/herself (belajar hidup), learning to do (belajar bekerja), dan learning to live together (belajar hidup bersama).
Dengan demikian benar-benar tercipta manusia muda (siswa) ke alam kedewasaan untuk
mempertemukan dengan kodrat sejatinya kemanusiaan.
Nama kelompok :
Almaratus Sholihah
Irfan Hilmi
Lailatul Munawaroh
Pangestu Nur Mirzha
Rina Dwi Purwati
Sabtu, 17 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar